Maradita Sutantio
Selamat Datang di Ruang Tunggu
📷: difoto oleh Maharani Mancanagara
Karya ini merupakan hasil tafsir cerita @feby.indirani berjudul “Ruang Tunggu” pada buku #BukanPerawanMariaterbitan @pabrikultur .
Diceritakan bahwa ketika kita telah meninggalkan dunia ini, maka kita akan berada dalam sebuah ruang tunggu yang akan menentukan ruang kita selanjutnya. Beragam konsep kepercayaan menyebutnya dengan istilah surga dan neraka.
Bagi saya, kehidupan kita saat ini yang menjadi realita bahwa detik dan detak jantung kita saling terpacu dalam sebuah kefanaan.
Perpacuan inilah yang menjadi konsep ruang tunggu bagi saya. Dan, hey! Selamat Datang pada kesadaran baru akan realitas, jeda, dan relung kekosongan. Selamat Menunggu..
Katalog Tafsir Rupa dan Gerak “Bukan Perawan Maria” dapat diunduh pada file ini : Katalog Tafsir BPM
MULTIPLE HANDS; 10th Anniversary The Mogus
Bulan Agustus 2018 yang lalu, Mulyana membuat sebuah pameran berbasis syukuran karena The Mogus; karakter Monster Gurita yang ia buat telah memasuki masa 10 tahun sejak pertama kalinya Mulyana menciptakan Mogus Sigarantang.
Beragam perjalanan dan langkah yang Mulyana tempuh, sedikit banyak terangkum dalam pameran ini. Saya merasa sangat terhormat dapat mengantarkan mogus-mogus dan perjalanan Mulyana dalam sebuah proses kuratorial yang memakan waktu cukup panjang.
Kami mulai berbincang mengenai pameran ini sejak akhir tahun 2017, mengutip Mang Moel sapaan akrab Mulyana; “Segala sesuatunya tergantung niat. Niat syukuran 10 tahunan ini mengingatkan saya akan kalimat “Siapa yang bersyukur, maka Dia akan tambahkan lagi nikmat lainnya”.
Mulyana berupaya untuk membagikan proses berkaryanya agar dapat menjadi manfaat dan media silahturahmi bagi rekan-rekan dan masyarakat luas.
Katalog dapat diunduh dalam file ini: Katalog Mogus – Multiple Hands, Selasar Sunaryo
Effortless Meditation The Series – Performance
All the works on this Effortless Meditation’s series is driven and motivated by Maradita’s personal experience of practicing meditation, and also by her background. The artist’s background becomes a daily projection on today’s human relationship as a citizen in Indonesia, it’s complex, divergent, tendentious, and intolerant these day.
It’s manifestated in the performance that she does periodically.
Poster: by Alrezky Caesaria
STIRRING SONG
Kondisi kehidupan manusia pada kota besar, membuat masyarakatnya diterpa berbagai arus peristiwa, kejadian dan pengaruh yang hadir melalui bentuk-bentuk penyebaran ideologi yang semakin hari semakin divergen dan tendensius. Hal tersebut membawa dampak terhadap kondisi psikologis sebagian orang dalam kehidupan kesehariannya yang bersifat keduniaan (mundane) dan banal – hingga pada akhirnya membuat manusia ‘semerawut’ dan kehilangan moment-moment kedirian.
Sebagai salah satu upaya untuk mengurai kesemerawutan tersebut, saya meminjam konsep meditasi yang melatih tingkat kesadaran tubuh, pengkayaan pengalaman, dan jeda temporal dalam pemikiran seseorang yang dihadirkan dalam bentuk kegiatan sehari-hari yang bersifat meditatif sebagai sebuah runutan kegiatan spiritual yang tersublimasi.
“Stirring Song”
300x120x240cm
Installation and performance
2017
Katalog Pameran Emang Jadi Omongan dapat diunduh: disini
Thank you: Asmujo Jono Irianto
Duto Hardono, Alrezky Caesaria, Hasrul, Vilhamy, Platform3, Galeri Hidayat.
No Greater Love
Pengorbanan dan kasih hadir ditengah-tengah manusia dalam rasa dan bentuk yang universal. Meskipun kehadirannya dinamakan dengan beragam istilah dan terminologi, pengorbanan tetap bermakna sama. Pengorbanan dilakukan karena keyakinan; yakin atas kebaikan yang akan hadir setelahnya.
Saat konsep berkorban hadir dan manusia mulai memaknai dan berusaha membuatnya menjadi rasional, maka saat itu juga esensi nilai pengorban dan kasih seringkali mengalami pergeseran ke arah negatif dan merugikan. Hubungan antara pengorbanan dan kasih tidak terhubung secara kausalitas. Pengorbanan tidak berarti sama dengan menjadi korban. Bukan. Sama sekali bukan begitu.
Pengorbanan, merupakan bentuk kelapangan hati untuk mengalah, menyerahkan segalanya, bahkan menyerahkan diri sendiri atas suatu dorongan. Dorongan tersebut merupakan sesuatu yang berlandaskan kasih dan keyakinan.
Dorongan yang membebaskan.
Amy Winehouse, pada karyanya ia menyatakan, “There is no greater love than what I feel for you, There is no greater thrill than what you bring to me, You are the sweetest thing I have ever known, and to think that you are mine alone”. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi pohon karet. Pohon karet tidak seperti Amy yang ingin menyimpan suatu kebajikan untuk diri sendiri, tidak.
Pohon karet, mengorbankan tubuhnya untuk dirobek, disadap, dan ditoreh agar manusia dapat memperoleh getah pohon karet yang nyatanya bermanfaat untuk kita. Dapat dibayangkan bagaimana jika tidak ada produk-produk olahan dari getah pohon karet, nasi kuning yang kita beli di belokan jalan akan berserakan sebelum kita berhasil memakannya untuk sarapan di rumah, kendaraan yang kita naiki tidak ada ban, tidak ada alas kaki, tidak ada tali kolor dan BH! XD
Well, itu baru urusan pengorbanan pohon karet. Bayangkan jika tidak ada ‘the great sacrifice’. Hmmm..
You can find your best way to catch this spiritual expression with your own terminology. Like I said before – it’s came on universal form. Some people might be fit on religion concept, some people most comfortable saw this example on the nature, or universe, but for me. Good Friday and His own sacrifice inspired me the most.
World without the holy sacrifice is unimaginable – well at least for me. 🙂
Sebagian orang mengorbankan waktu dan tenaga untuk pasangannya – karena cinta katanya.
Sebagian orang mengorbakan cita-cita pribadinya untuk anak-anak dan keluarganya.
Kemudian, ada satu orang. Satu. Orang. Saja.
Dia melakukan satu pengorbanan yang maha besar. Orang yang melepaskan seluruh kemuliaan dirinya, orang yang rela menanggung segala kesalahan-kesalahan kita. Suatu pengorbanan terbesar dan terpenting, Dia; Yesus – yang mengorbankan dirinya sendiri. Untuk saya. – Kamu juga tentunya.
Dan, itu yang terpenting.
Selamat paskah.
“No Greater Love”
420 x 165 cm
Rubber band and nails on wall
2016
Installed at Inspire Community Center (ICC) ; Fave Hotel – 6th floor, Cihampelas Bandung.
*
There is no greater love than that one lay down his life for others.
There is no greater love that the sacrifice that’s given.
There is no greater love than own’s sacrifice.
Thank you for the sacrifice You have given.
❤
Super Thank You to ICC for having me, really really lucky and bless to serve.
❤
PS:
(Later after the works done.. )
There’s an interviewer asking about this work.
So, There’s me, -you know- telling and explaining the concept behind this work with some theory, semiotics signs, “boring stuff” and etcetera.. (Hehehe) And then.. At the end of the interview..
Suddenly.. I’m feel so glad I do this work!
I really do!!
At some point, I’m glad and liberated.
I’m doing this not to prove anything about my self or to showed up about how good I am at making art. No!!
I’m glad, because I’m telling about how great He is!!
And that the only important thing.
🙂
You have to accept whatever comes and the only important thing is that you meet it with courage and with the best that you have to give. -Eleanor Roosevelt-
CONNECT THE DOT; JAGAD CILIK JAGAD GEDE
The “Jagad Cilik – Jagad Gede” installation will be shown permanently on Ruci’s Joint 1st floor. Just hit it if you are around Jl Suryo- Senopati, Jakarta.
It was such a pleasure to born and making the yarn start growing, larger, deeper, and moving forward. From just a simple string, until it become a line, a shape and a space.
Jagad cilik – Jagad gede, means microcosm and macrocosm. The paired concept of macrocosm and microcosm presents the idea that there is a corresponding similarity in pattern, nature, or structure between human beings and the universe. The concept of microcosm/macrocosm views human as a smaller representation of the universe and the universe as an anthropomorphic existence. This concept is found throughout the history of thought from ancient times through the renaissance, and in various religious traditions.
It’s about our journey, as a human being to seek our identity and our divinity aspect or godhead of things that come from a supernatural power or deity, such as a god, supreme being, Creator-God or spirits (or any others ‘nick name’ that would works perfectly for you).
If the concept of microcosm/macrocosm views human as a smaller representation, than the human body is made up of the same fundamental particles that the entire universe is made of. We can say that Jagad Cilik is a sacred space that coextensive with the universe (Jagad Gede).
Human is referred to as the universe child or a microcosm or small world , while the universe known as the macrocosm or universe is big which is a manifestation of God himself. (But) unfortunately, on the journey it is not easy to defining our self. Every time we try to defining it, in the end it narrows the real nature of the seld. The definition always bring us into a piece of a complex reality.
Who knows himself , he knows his God . And vice versa.
***
“Connect the dot; Jagad Cilik – Jagad Gede”
yarn on wall installation
550 cm x 125 cm (approx)
2015
CAN I TALK TO ME, PLEASE?
“Can I Talk To Me, Please?”
watercolor and thread on canvas
30 cm x 30 cm
2015
exhibited at: Soongsil University – Korea, 2015
33GRAMS OF INTERCONNECTEDNESS
Maradita Sutantio
“33 Grams Of Interconnectedness”
Installation, scale and wasted fabric
90 x 90 cm
2015
URBAN WEAVING; The Interconnectedness (Catalog)
URBAN WEAVING; The Interconnectedness
Exhibition: 1-7 November 2015
Artist talk: 1 November 2015
Wastu Creative Space
*
Curator: Maradita Sutantio
Moderator: Kiki Rizky Soetisna Putri
*
Artists: Adindanya Anandiha, Atria N. Fadilla, Aulia Yeru, Dhea Syifa Puspasari, Erik Pauhrizi-Erika Ernawan, Gangga Saputra, Henryette Louise, Juliati, Lydia Oviane, Marina Wiyadharma, Mieke, Mirza Arfina, Nadia Mahatmi, Novia Syifi Lestari, Patriot Mukmin, Rosie Sumadi, Widia Nur Utami.
Photo, poster and catalog design: Gangga Saputra.